Apresiasi Budaya dalam Prosa

 Laporan Bacaan Apresiasi Prosa

Dosen : Dr.AbdurahmanM.Pd

Seksi : 202110160038



Nama : RESTI AULIA RAHMI
NIM : 20016177


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021


Apresiasi Budaya dalam Prosa

 

 Tingkat budaya dan aspek budaya dalam Prosa,

Menurut Teeuw (1988: 23), sastra berasal dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi

Sastra dan kebudayaan memiliki hubungan yang erat. Kedua istilah berada dalam kelompok kata yang memberikan perhatian pada aspek rohaniah, sebagai pencerahan akal budi manusia. Apabila dalam perkembangan berikut sastra perlu diberi definisi yang lebih sempit, yaitu aktivitas manusia dalam bentuk yang indah, lebih khusus lagi bentuk dengan memanfaatkan bahasa, baik lisan maupun tulisan, tidak demikian halnya terhadap kebudayaan. Artinya, kebudayaan tetap memiliki ruang lingkup yang lebih luas, bahkan cenderung diberikan peluang untuk bertambah luas sebab aktivitas manusia bertambah luas dan beragam.

 

Nilai Budaya,

Koentjaraningrat (1985: 25) menjelaskan bahwa nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat. Suatu sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia yang lain yang tingkatnya lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum, dan norma-norma, semuanya juga berpedoman kepada sistem nilai budaya itu

Soelaeman (1988: 26) memaparkan bahwa sistem nilai budaya dalam masyarakat di mana pun di dunia, secara universal menyangkut lima masalah pokok kehidupan manusia, sebagai berikut.

 a. Hakikat hidup manusia (MH)

Hakikat hidup untuk setiap kebudayaan berbeda secara ekstern; ada yang berusaha untuk memadamkan hidup (nirvana = meniup habis), ada pula yang dengan pola-pola kelakuan tertentu menganggap hidup sebagai suatu hal yang baik, “mengisi hidup”. 

b. Hakikat karya manusia (MK)

Setiap kebudayaan hakikatnya berbeda-beda, di antaranya ada yang beranggapan bahwa karya bertujuan untuk hidup, karya memberikan kedudukan atau kehormatan, karya merupakan gerak hidup untuk menambah karya lagi.

 c. Hakikat waktu manusia (MW) 

Hakikat waktu untuk setiap kebudayaan berbeda; ada yang berpandangan mementingkan orientasi masa lampau, ada pula yang berpandangan untuk masa kini atau yang akan datang.

 d. Hakikat alam manusia (MA) 

Ada kebudayaan yang menganggap manusia harus mengeksploitasi alam atau memanfaatkan alam semaksimal mungkin, ada pula kebudayaan yang beranggapan bahwa manusia harus harmonis dengan alam dan manusia harus menyerah kepada alam. 19 

e. Hakikat hubungan manusia (MM)

Dalam hal ini ada yang mementingkan hubungan manusia dengan manusia, baik secara horizontal (sesamanya) maupun secara vertikal (orientasi kepada tokoh-tokoh). Ada pula yang berpandangan individualistis (menilai tinggi kekuatan sendiri).

Nilai budaya tidak hanya berhubungan dengan salah satu komponen saja, namun nilai budaya saling menyatu bila dilihat dari hubungan manusia. Seperti yang diungkapkan Djamaris (1994: 2), yang menjelaskan bahwa nilai budaya itu dikelompokkan berdasarkan lima kategori hubungan manusia, yaitu (1) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan, (2) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam, (3) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat, (4) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan manusia lain, dan (5) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri.


Idiologi Budaya,

Dalam hal sastra sebagai cermin budaya masyarakat tentu harus melihat konteks ruang dan waktu. Karena ciri-ciri suatu masyarakat, kondisi sosial, adat istiadat, dan budaya-budaya masyarakat lainnya yang ditulis dalam karya sastra tentu sesuai dengan situasi dan kondisi saat karya sastra tersebut lahir.

Selain sebagai cermin budaya masyarakat, maka hal lain yang menarik untuk dibahas adalah sastra dalam hal ini Sastra Indonesia diciptakan, tumbuh dan berkembang dari budaya Indonesia yang beraneka ragam. Oleh karena itu, keberadaan sastra di Indonesia pun beraneka ragam, mulai keragaman gaya ungkap bahasa, tokoh, mitologi, hingga ke masalah sosial, politik, dan budaya etnik. Moda dan genre sastra di Indonesia yaitu prosa, sajak, puisi, esai, drama dan fiksi menjadi lebih kaya tema dan gaya ungkap bahasa yang spesifik karena ada dongeng, legenda, mitos, epos, tambo, hikayat, syair, pantun, gurindam, macapat, karungut, mamanda, dan geguritan. Keberagaman moda dan genre sastra tersebut juga menyebabkan keberagaman dalam hal gaya ungkap, tokoh yang ditampilkan, semangat mitologi yang mendasari, serta masalah sosial, politik, dan budaya etnik dari sastrawan daerah yang menuliskan karya tersebut.

 

Kearifan Budaya dalam Prosa

 Keberadaan sastra Indonesia yang beragam ini tentu tidak terlepas dari adanya keberagaman bahasa daerah di Indonesia. Memang kalau kita lihat dan analisa Bahasa Indonesia merupakan sarana utama pengucapan sastra Indonesia, meskipun Bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua, setelah bahasa ibunya. Hal ini memberikan sebuah konsekuensi bahwa dalam karya sastra yang mereka tulis terdapat sejumlah kosakata, frasa, dan kalimat bahasa daerah. Hal itu dimungkinkan karena masyarakat Indonesia berada dalam tataran situasi bilingual atau multilingual.

Selain itu, jika kita elaborasi maka banyak karya sastra yang mengangkat budaya lokal daerah. Hal ini dapat disebabkan sejak awal kelahirannya, awal abad XX, sastra Indonesia bersumber pada budaya daerah itu sendiri, misalnya roman Balai Pustaka, Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922, Darah Muda (Adinegoro, 1927), , Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928), dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck ( Hamka, 1938) mengangkat unsur adat masyarakat Minangkabau.

Penggalian nilai-nilai budaya daerah juga ada pada pengarang-pengarang di jawa seperti Linus Suryadi A.G. (Pengakuan Pariyem, 1981, Umar Kayam (Sri Sumarah dan Bawuk, 1975; Para Priyayi, 1992, Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar, 1983; Roro Mendut, 1984, Genduk Duku, 1987, dan Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk, 1980), menghadirkan persoalan-persoalan dalam adat istiadat dan budaya jawa. Sedang pengarang-pengarang yang sering menulis dengan tema budaya Sunda, jawa barat misalnya Ajip Rosidi, Ramadhan K.H., dan Achdiat Kartamihardja melalui novel dan cerita pendek yang ditulisnya

Komentar

Postingan populer dari blog ini