Pendidikan karakter dan Prosa
Laporan Bacaan Apresiasi Prosa
Pendidikan Karakter dan Prosa
Dosen : Dr.AbdurahmanM.Pd
Seksi : 202110160038
Nama : RESTI AULIA RAHMINIM : 20016177
FAKULTAS BAHASA DAN SENIUNIVERSITAS NEGERI PADANG2021
A. PendahuluanKarakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Seorang ahli teori sosial di George Washington University, Amitai Etzioni, menurut Daniel Goleman, juga menulis bahwa karakter sebagai bakat psikologis yang dibutuhkan oleh perilaku moral. Artinya, karakter dan moral adalah dua hal yang sangat identik.
Sehingga pembicaraan mengenai kedua hal ini, termasuk di dalamnya hal-hal mengenai perbuatan etis tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Adapun yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Allah SWT, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan.
Dalam praktiknya, pendidikan karakter memiliki beban untuk mengajarkan dua tugas penting, yaitu tugas untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan tugas untuk mengembangkan kemampuan moral. Pengembangan kemampuan intelektual memiliki orientasi pada terciptanya siswa yang cerdas dan memiliki ketajaman intelektual, sedangkan pengembangan kemampuan moral memiliki orientasi pada terciptanya siswa yang memiliki integritas diri dan berkarakter kuat.
Karena tugas-tugas yang membebani pendidikan karakter itulah, di sekolah, pendidikan karakter diintegrasikan dalam suatu pembelajaran tertentu dan dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Hal ini memiliki tujuan agar pengembangan kemampuan intelektual dan moral, seperti yang tadi sudah disampaikan, dapat berjalan beriringan.
Permasalahannya, melaksanakan dua tugas secara bersamaan bukanlah pekerjaan yang mudah, terlebih kondisi pendidikan yang kita ketahui bersama saat ini menghadapi banyak persoalan. Selain itu, praktik pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kehadiran model sangatlah penting di dalam fase pertumbuhan dan pembentukan siswa melalui proses imitasi dan identifikasi.
B. PembahasanSastra Dalam Hubungannya Sebagai Media Pembelajaran Etika, Moral, Dan Karakter Pendidikan dan pembelajaran mengenai etika, moral, dan karakter sangat penting dan dibutuhkan dalam kehidupan. Perkembangan dunia yang semakin maju seperti sekarang ini seolah menuntut semua manusia untuk memiliki penyaring (filter) yang kuat dalam menghadapi arus kehidupan global yang semakin membahayakan. Salah satu filter yang harus dimiliki setiap individu dan sekarang ini sedang dalam pelaksanaan pendidikan adalah pendidikan moral dan karakter.
Pendidikan moral, etika, dan karakter tersebut menjadi resep paling tepat untuk menyelesaikan persoalan yang selama ini melanda bangsa Indonesia. Pendidikan memang bukanlah sekadar transfer pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga sebagai alat wahana pembentukan kepribadian (character building), mulai dari pola pikir, kejiwaan dan pola tingkah laku (attitude).
Oleh sebab itulah, ada kaitan yang sangat penting jika menggabungkan pendidikan (yang berorientasi pada kecerdasan berpikir) dengan pendidikan (yang berorientasi pada pengembangan kemampuan moral memiliki orientasi pada terciptanya siswa yang memiliki integritas diri dan berkarakter kuat).
Sekali lagi dikatakan, bahwa penanaman pendidikan karakter tidak dapat dilakukan dengan cara menghafal setumpuk dalil dan teori tentang kebaikan, kejujuran, ketulusan, dan karakter luhur lainnya. Hal tersebut memang penting, namun tidak cukup. “The dimensions of character are knowing, loving, and doing the good”, kata Thomas Lickona yang diartikan bahwa dimensi karakter adalah mengetahui atau pengetahuan tentang kebaikan, mencintai kebaikan, dan melakukan kebaikan. Jadi, tidak perlu ada yang meragukan perlunya pembentukan karakter di semua jenjang pendidikan. Sebab, bila seseorang kehilangan karakternya, ia kehilangan sisi genuine-nya dan kehadirannya di publik kehilangan kemanfaatan. Untuk itulah, pendidikan moral, etika, dan karakter ini perlu dilaksanakan dengan baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun sekolah. Sekali lagi, pembelajaran mengenai hal ini membutuhkan contoh nyata, keteladanan (role model) dan pembiasaan (habituation), agar mencapai sasaran yang diinginkan, yaitu terbentuknya manusia etis, bermoral, memiliki integritas yang tinggi, dan berkarakter kuat.
Menurut Inayat Khan, kebaikan adalah panggilan fitrah dan agama diturunkan Tuhan untuk mengembangkan bakat bawaannya tersebut dan pendidikan menuntunnya agar terhindar dari salah arah. Selain itu, neurosains juga membuktikan bahwa otak manusia dirancang sedemikian rupa sehingga bersikap baik kepada orang lain itu membuat kita merasa nyaman; berbagi itu menyenangkan.
Jadi, kebaikan itu sejatinya tak perlu dijejalkan dari luar. Cukup dengan cerminan yang memantulkan kilau kebaikan dalam diri mereka. Sementara itu, penjelasan mengenai pembiasaan untuk berbuat baik dijelaskan dengan pengertian bahwa pembentukan karakter yang luhur tidak dapat mungkin langsung dicapai dengan tiba-tiba. Ia membutuhkan tahapan-tahapan layaknya mengukir, memahat, melukis (Inggris: ‘to engrave’), yang merupakan arti dari charassein (Yunani: karakter). Sembari memahami hakikat tentang pembiasaan tersebut, mari kita ingat pesan melalui lagu kasidah: belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu (at-ta’allum fis shighari ka an-naqsyi ‘alal hajari). Dari lagu kasidah itu pun, dijelaskan bahwa pembentukan kebiasaan yang dilakukan di masa kecil akan lebih melekat jika dibandingkan dengan pembentukan kebiasaan yang dilakukan di masa dewasa. Jadi, pembiasaan tersebut mentransformasikan suatu nilai menjadi budaya-kebiasaan-habit. Dari knowing the good menjadi habit of the mind, dari desiring the good menjadi habit of the heart, dan dari doing the good menjadi habit of action. Penerapannya di Sekolah Jika penjelasan mengenai pembelajaran karakter sudah dipahami, lalu bagaimanakah penerapan penanaman karakter, etika dan moral tersebut, khususnya dalam dunia pendidikan?
Sementara, jika kita mau berpikir, kurikulum sekolah sudah penuh sesak dengan matapelajaran yang sudah ada, sehingga tidak mungkin memunculkan matapelajaran etika, moral, dan karakter. Jika pun dimunculkan, matapelajaran ini akan membuat beban siswa bertambah. Tak hanya siswa, guru dan kepala sekolah akan dibuat lebih pusing.
Oleh sebab itulah, pendidikan etika, moral, dan karakter pada akhirnya diintegrasikan dalam matapelajaran-matapelajaran yang ada seperti yang saat ini sedang dilakukan. Salah satunya adalah matapelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Matapelajaran ini memberikan peluang untuk menggabungkan, mengintegrasikan, dan menyisipkan pembelajaran etika, moral, dan karakter di dalamnya. Dengan materi bahasa dan sastra, siswa dapat diajak untuk melakukan apresiasi, refleksi, dan kontemplasi persoalan-persoalan etis dan moral yang tercermin dalam karya sastra yang menjadi materi ajar.
Selain itu, ada beberapa nilai strategis dari sastra yang bermanfaat bagi siswa. - Pertama, secara psikologis, manusia memiliki kecenderungan untuk menyukai realita dan fiksi.
- Kedua, karya sastra memperkaya kehidupan pembacanya melalui pencerahan pengalaman dan masalah pribadi dan melalui sastra, pembaca belajar bagaimana orang lain menyikapi semua itu.
- Ketiga, karya sastra adalah harta karun berbagai kearifan lokal yang seyogyanya diwariskan secara turun-temurun lewat pendidikan.
- Keempat, berbeda dengan keterampilan berbahasa (menyimak, menulis, berbicara, membaca), sastra memiliki isi, yakni nilai-nilai dan interelasi kehidupan.
- Kelima, melalui sastra, siswa ditempatkan sebagai pusat dalam latar pendidikan bahasa yang mengoordinasikan komunikasi lisan, eksplorasi sastra, dan perkembangan pengalaman personal dan kolektif.
Pendekatan Pembelajaran Sastra Dalam hubungan ini—antara nilai-nilai yang terdapat dalam sastra dan praktik pembelajaran etika, moral, karakter—diperlukan pendekatan yang tepat dan disarankan untuk memilih materi yang juga tepat dan cocok untuk memberikan pengalaman etis dan moral, serta diharapkan dapat menumbuhkan karakter luhur siswa. Karena, seperti yang telah disinggung di muka, karya sastra memiliki berbagai macam jenis dengan tujuan-tujuan yang tidak dapat disamakan, sehingga pemilihan jenis karya sastra juga menjadi poin penting untuk dilakukan agar penyampaian dan penanaman moral, etika, dan karakter melalui karya sastra tercapai dengan baik. Beberapa pendekatan pembelajaran sastra yang mungkin dilakukan antara lain pendekatan moral, apresiasi, estetika dan stilistika, resepsi sastra, dan tidak terkecuali pula dengan hermeneutik sebagai ilmu tafsir teks. Pada dasarnya, semua pendekatan tersebut baik, hanya saja dalam penerapannya memang harus disesuaikan dengan kemampuan pembelajar (dalam hal ini adalah guru sastra) dan disesuaikan juga dengan kondisi dan kemampuan pebelajar (siswa). Yang juga menjadi pemeran penting lainnya adalah buku-buku sastra atau karya sastra yang dijadikan sebagai materi ajar. Dengan membaca sastra, pembaca akan bertemu dengan bermacam-macam orang dengan bermacam-macam masalah. Melalui sastra, pembaca diajak berhadapan dan mengalami secara langsung kategori moral dan sosial dengan segala parodi dan ironinya. Ruang yang tersedia dalam karya sastra itu membuka peluang bagi pembaca untuk tumbuh menjadi pribadi yang kritis pada satu sisi, dan pribadi yang bijaksana pada sisi lain. Pribadi yang kritis dan bijaksana ini bisa terlahir karena pengalaman seseorang membaca sastra telah membawanya bertemu dengan berbagai macam tema dan latar serta berbagai manusia dengan beragam karakter. Salah satu contoh pembelajaran moral, etika, dan karakter yang dapat dilakukan melalui karya sastra adalah dengan menggunakan salah satu pendekatan sastra (misalnya, pendekatan apresiasi dan kritik sastra). Guru memberikan cerita mengenai legenda Sangkuriang dengan Gunung Tangkuban Perahu atau dongeng Malinkundang dengan sosok batu di suatu tempat yang mirip dengan manusia. Siswa diajak untuk bersama-sama membaca, memahami, dan menghayati cerita dalam karya sastra tersebut, kemudian memberikan apresiasi dan kritik mengenai karya sastra tersebut. Kedua karya sastra tersebut dapat digunakan sebagai materi ajar karena mereka memiliki nilai-nilai yang dapat diambil hikmah serta diaplikasikan ke kehidupan sehari-hari. Dengan berbekal wawasan dan apresiasi yang mendalam mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra, secara perlahan dan bertahap, akan dapat membentuk pribadi siswa yang kuat dengan motivasi dan kontrol diri yang baik. Selain itu, guru juga dapat membuat pembelajaran berbasis proyek (project based learning) dengan mengajar siswa untuk menelaah karya sastra tertentu kemudian merenungkan persoalan-persoalan moral, etis yang diperoleh dalam karya sastra. Serta, siswa diajak untuk menerapkan proyek dengan membuat laporan tentang pengalaman etis dan moral dalam kehidupan sehari-hari dan kemudian mendiskusikannya. Dengan cara-cara dan tertentu, karya sastra jelas dapat digunakan secara efektif sebagai salah satu media pembelajaran moral, etika, dan karakter di sekolah.
Sehingga, dengan pembelajaran sastra yang berkelanjutan, karakter luhur, etika, dan moral yang baik siswa, secara perlahan akan dapat terwujud. Penutup Pendidikan karakter sudah sering menjadi pembahasan berbagai kalangan, terutama di kalangan pendidikan.
Hal ini karena adanya fakta bahwa siswa sebagai produk pendidikan belum kuat secara kemanusiaan, serta kepribadiannya masih lemah sehingga mudah terpengaruh oleh hal-hal dari luar. Karena itulah, tugas penanaman etika, moral, dan karakter bukan hanya menjadi tugas orang tua sebagai pendidik di rumah, tetapi juga perlu dilaksanakan melalui pendidikan di sekolah. Pengintegrasian pendidikan karakter, moral, dan etika dalam setiap matapelajaran yang ada dapat dilakukan, termasuk dalam matapelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Karya sastra yang merupakan salah satu materi yang termasuk dalam matapelajaran ini dapat dijadikan sebagai media, wahana pembelajaran etika, moral, dan karakter meskipun tidak lantas karya sastra dijadikan sebagai kitab etika dan moral. Untuk diperhatikan, pembelajaran moral, etika, dan karakter melalui karya sastra harus dipilih dengan baik agar karya sastra yang dijadikan materi ajar sesuai dan dapat secara maksimal dijadikan sebagai wahana dan media pembelajaran etika, moral, dan karakter. Dan, jika pemilihan materi ajar dari karya sastra telah dipilih dengan bijaksana dan sesuai, serta disampaikan dengan cara, media, dan sarana yang tepat, maka pembentukan karakter secara perlahan-lahan (sabar), dengan proses yang berkesinambungan (istiqamah), serta cara-cara kreatif dan inovatif (thariqah ahammu minal maddah) akan dapat dicapai dengan baik.
Sumber: Al- Banjari, R. R. 2008. Membaca Kepribadian Manusia Seperti Membaca Alquran. Jogjakarta: Diva Press.
Asy’ari, Hasyim. 2010. Adabul ‘Alim wal Muta’allim. Jombang: Tebuireng.
Chaedar, Al Wasilah. “Pengajaran Berbasis Sastra” dalam http://www.pikiran-rakyat.com
Darma, Budi. 2004. Pengantar ke Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2008.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Goleman, Daniel. 1997. Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosional Mengapa EQ Lebih Penting Daripada IQ, T. Hermaya (terj.). Jakarta: Gramedia.
koesoema, Doni. 2007. Pendidikan Karakter:: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo.
- Pertama, secara psikologis, manusia memiliki kecenderungan untuk menyukai realita dan fiksi.
- Kedua, karya sastra memperkaya kehidupan pembacanya melalui pencerahan pengalaman dan masalah pribadi dan melalui sastra, pembaca belajar bagaimana orang lain menyikapi semua itu.
- Ketiga, karya sastra adalah harta karun berbagai kearifan lokal yang seyogyanya diwariskan secara turun-temurun lewat pendidikan.
- Keempat, berbeda dengan keterampilan berbahasa (menyimak, menulis, berbicara, membaca), sastra memiliki isi, yakni nilai-nilai dan interelasi kehidupan.
- Kelima, melalui sastra, siswa ditempatkan sebagai pusat dalam latar pendidikan bahasa yang mengoordinasikan komunikasi lisan, eksplorasi sastra, dan perkembangan pengalaman personal dan kolektif.
: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo.
Komentar
Posting Komentar